Wartawan Salah Beritakan Tentang Anak Bisa Masuk Penjara dan Denda Rp 500 Juta


DikoNews7 | Makasar - 

Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Chairudin Bangun mengingatkan perihal sanksi berat bagi media dan wartawan yang melanggar aturan pemberitaan tentang anak. Ia menyebut hukuman penjara sampai lima tahun dan denda Rp 500 juta.

“Jadi bukan“ atau ”tetapi“ dan "Hukumannya penjara dan denda kalau dilanggar,” kata Hendry pada sosialisasi pedoman pemberitaan ramah anak di Hotel Santika, Makassar, Rabu, 7 Agustus 2019.

Hendry mengatakan wartawan mesti merahasiakan identitas anak dalam memberitakan informasi tentang anak, khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.

“Apalagi membuat deskripsi yang bersifat seksual dan sadistik,” ujar dia.

Ia menekankan anak yang menjadi korban, saksi, atau pelaku dalam peristiwa kejahatan harus dirahasiakan identitasnya.

“Definisi anak dalam kaitan ini adalah mereka yang masih dalam kandungan sampai berusia 18 tahun,” ungkapnya.

Menyoal peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orang tua atau keluarga,  kekerasan dan kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik terhadap anak, ia melarang wartawan tidak mencari dan menggali informasi mengenai hal-hal diluar kapasitas anak untuk memberi jawaban.

Sementara terkait dengan pemberitaan yang bernuansa positif, prestasi anak, Hendry mengimbau untuk mempertimbangkan faktor psikologi anak dan efek pemberitaan yang berlebihan.

“Dalam banyak kasus, anak berhenti berprestasi karena waktu belajarnya direnggut dari media, dipanggil dari satu media ke media lain. Ini namanya over pemberitaan,” ungkapnya.

Ia pun memberi larangan agar wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video, foto, status, dan audio) semata-mata dari media sosial.

“Apalagi kalau tidak meminta izin terlebih dahulu, meski sekalipun mencantumkan sumbernya, itu tetap dilarang,” tegasnya.

Ia mengatakan banyak undang-undang yang mengatur perlindungan anak dalam pemberitaan, ditambah Kode Etik Jurnalistik.

Menurut Pasal 64 (3) UU nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyebutkan “anak yang menjadi korban tindak pidana dilindungi dari pemberitaan identitas melalui media massa untuk menghindari labelisasi”.

Pasal 19 UU no. 12/2011 tentang Sistem Peradilan Anak menyebutkan: Identitas anak, anak korban, dan/atau anak saksi wajib dirahasiakan dalam pemberitaan di media cetak maupun elektronik.

Identitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi nama anak, nama anak korban, nama anak saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri anak, anak korban, dan/atau anak saksi.

Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik menegaskan wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak-anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Ratna Susianawati, Staf ahli Menteri Bidang Komunikasi Pembangunan mengatakan, dua dari tiga anak-anak remaja perempuan dan laki-laki di Indonesia mengalami salah satu bentuk kekerasan sepanjang hidupnya.

Ia menyebut kekerasan yang dialami anak cenderung tidak berdiri sendiri tetapi bersifat tumpang tindih di antara jenis kekerasan.

“Hasil penelitian tahun 2018, Anak-anak yang mengalami kekerasan seksual 0,2 – 1,2 persen. Kekerasan fisik sebesar 2-8 persen, dan kekerasan emosional berkisar 23-36 persen,” ungkapnya.

Editor : Sapta
Sumber : Net

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel