Bupati Deli Serdang Lindungi ASN Terlibat Sindikat Jaringan Mafia Tanah ???
Foto : Ibu Merawati (69). |
DikoNews7 -
Sungguh pedih dan sangat menyakitkan nasib yang dialami ibu Merawati warga Jalan Banten Dusun IX Desa Helvetia, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
Pasalnya, tanah milik ibu Merawati bekisar 5600 meter yang berada di Dusun II Desa Helvetia, sebagian sudah dicaplok oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tanpa sepengetahuan dirinya.
"Hanya dengan modal surat penguasaan fisik yang ditandatangani Sekdes Helvetia dan Camat Labuhan Deli, muncul sertifikat dan tanah saya sudah di tembok tanpa ijin", ucap ibu Merawati sambil menangis dihadapan awak media.
Janda 69 tahun ini pun merasa heran dan sangat kecewa karena hingga kini Bupati Deli Serdang H Ashari Tambunan terkesan bungkam dan tidak ada tindakan sama sekali terhadap bawahannya yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) dilingkungan Pemkab Deli Serdang.
"Saya sangat kecewa, Pak Bupati jangan lindungi ASN Pemkab Deli Serdang yang diduga terlibat sindikat jaringan mafia tanah", ucapnya dengan berurai air mata.
Pantauan media dilapangan, aksi mafia tanah memang merajalela dan sudah sangat meresahkan akhir-akhir ini di Desa Helvetia, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara.
Mafia tanah bergerak lebih dari satu orang dalam bidang kejahatan tentang pertanahan. Mafia tanah ini sekelompok orang-orang yang mengolah masalah pertanahan sedemikian rupa yang benar dijadikan salah dan yang salah dijadikan benar.
Dari kejadian yang dialami oleh masyarakat Desa Helvetia yang merasa terzalimi hak-hak tanah mereka, jelas masyarakat menduga adanya sindikat mafia tanah di daerah mereka.
Kalau berbicara tentang mafia tanah, maka sebenarnya bisa dinyatakan bahwa mereka itu terorganisir, terstruktur dan tersistematis serta melibatkan banyak pihak.
Biasanya, mafia tanah memiliki kemampuan merekayasa hukum, administrasi dan kemampuan finansial luar biasa. Juga mampu mempengaruhi kebijakan ataupun keputusan pemangku pertanahan atau instansi terkait lainnya.
Salah satu yang diduga menjadi korban mafia tanah adalah Merawati warga Jalan Banten Dusun IX Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli.
Wanita yang berusia 69 tahun ini, bisa dikatakan termasuk memiliki kehidupan ekonomi menengah ke bawah. Lantas, bagaimana Merawati memakai pengacara sebagai kuasa hukumnya?
Setelah ditelusuri, ternyata kejadian yang dialami Merawati menggugah Tim Ardianto Coorporate Law Office dan tergerak untuk membantu menjadi kuasa hukumnya terhadap kasus ini. Tak hanya itu, para insan pers dari berbagai media pun turut berempati terhadap kejadian yang dialami Merawati.
Bukan tanpa alasan, dari kejadian yang dialami Merawati ini, penulis berpendapat bahwa berbagai elemen bangsa ternyata mendukung kebijakan tegas Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dalam memberantas mafia tanah di Tanah Air.
Penulis juga berpendapat, dukungan terhadap kebijakan Presiden Jokowi tersebut disebabkan, hal itu adalah salah satu kemajuan dan salah satu program yang sangat bagus karena menyentuh dengan kehidupan rakyat Indonesia.
Akan tetapi, sebagian masyarakat menyayangkan kebijakan Presiden Jokowi dinilai masih saja di manipulasi oleh pihak-pihak ataupun oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Tentu menjadi pertanyaan publik, apakah negara kalah terhadap para mafia tanah dan kroninya? Lalu, bagaimana dengan hak-hak rakyat atas tanahnya?
Di dalam artikel ini, penulis menghimpun dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, terkait kejadian dialami oleh Merawati yang diduga menjadi korban mafia tanah di Desa Helvetia.
Aroma busuk dugaan persekongkolan jahat untuk menguasai tanah milik Merawati demi mendapatkan keuntungan, semakin terendus ke permukaan dan menjadi sorotan publik.
Mungkin, menjadi hal yang biasa skenario oknum-oknum mafia tanah yang diduga memonopoli seolah-olah lahan tersebut masuk dalam areal PTPN atau dengan istilah eks HGU, dilakukan mereka untuk bisa merampas tanah milik masyarakat.
Tanpa mengenal lelah, Merawati terpaksa harus berjuang demi mendapatkan kembali tanah miliknya yang diperkirakan bekisar 5600 meter persegi itu berada di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli Kabupaten Deli Serdang, yang diduga sebagian sudah dicaplok oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tanpa sepengetahuan dirinya.
Dalam kesempatan kali ini, penulis mengutarakan hasil penelusuran dari berbagai sumber yang dapat dipercaya, bahwasanya Merawati memperoleh tanah tersebut berdasarkan :
Pertama, Surat Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Sumatera Utara nomor 570-34/I/91 tanggal 3 Januari 1991, lahan di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli (tanah yang dimaksud) tidak termasuk dalam areal HGU PT Perkebunan IX yang saat ini disebut dengan nama PTPN II.
Kedua, Surat Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara (Gubernur Sumatera Utara) nomor 593/12187 tanggal 11 Mei 1991, menegaskan kembali bahwa areal di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli itu tidak termasuk dalam sertifikat HGU, dan permohonan untuk membangun rumah karyawan PT Perkebunan IX (yang saat ini disebut dengan nama PTPN II) diatas tanah tersebut tidak dikabulkan.
Ketiga, Surat Badan Pertanahan Nasional Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang tanggal 23 September 1989, yang menerangkan bahwa areal yang dimaksud tidak termasuk di dalam areal PT Perkebunan IX (yang saat ini disebut dengan nama PTPN II).
Keempat, Surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Deli Serdang (Bupati Deli Serdang) tertanggal 29 Maret 1995, yang menerangkan tanah bekisar 5600 meter persegi tersebut adalah kepunyaan Merawati.
Kelima, Putusan PTUN No.86/G/2000/TUN-MDN tanggal 29 Mei 2001.
Keenam, Putusan Mahkamah Agung RI Reg.No.139 K/TUN/2002 tanggal 21 April 2004 jo. Putusan Pengadilan Tinggi TUN-Medan no.76/BDG.G.MDN/PT.TUN-MDN/2001 tanggal 19 September 2001.
Ketujuh, Surat Keterangan Tanah No.592.2/0157/II/2006 tanggal 20 Februari 2006 yang dikeluarkan oleh Kepala Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli, yang diregistrasi Camat Labuhan Deli no.21/SK-LD/1991 tanggal 7 Maret 1991.
Kedelapan, Perintah Pelaksanaan Putusan (Eksekusi) dari PTUN Reg. No.W2.D.AT.04.10-246/2005 tanggal 12 September 2005.
Kesembilan, Putusan Perdata Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.14/Pdt.G/2006/PN-LP tanggal 8 Januari 2007.
Kesepuluh, Putusan Pengadilan Tinggi Medan No.115/PDT/2008/PT.MDN tanggal 09 Juni 2008.
Kesebelas, Putusan Mahkamah Agung RI No.537 K/PDT/2011 tanggal 14 September 2011.
Berdasarkan hal tersebut, sudah jelas tanah bekisar 5600 meter persegi di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli, milik Merawati yang telah berkekuatan hukum tetap, dan tidak termasuk dalam areal PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II yang dulu disebut dengan PT Perkebunan IX.
Tanah milik Merawati dicaplok atau diserobot seluas bekisar 900 meter persegi yang dilakukan oleh Rakio dan sudah di sertifikat hak milik.
Akan tetapi, sertifikat hak milik atas nama Rakio dalam sekejap mata sudah berubah menjadi atas nama Budi Kartono tersebut diduga cacat hukum.
Media melakukan penelusuran dengan meminta penjelasan baik dari pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang maupun pihak pemerintahan Kecamatan Labuhan Deli dan Desa Helvetia, menerangkan asal muasal terbitnya sertifikat hak milik tersebut.
Ternyata, Rakio memohonkan kepada PTPN II untuk membayar rumah karyawan (aset PTPN II) dengan surat keterangan no.2.5-BS/Ket/21/II/2022 ditandatangani oleh Senior Executive Vice President PTPN II yakni Syahriadi Siregar, tanggal 18 Februari 2022, yang menerangkan bahwa Rakio telah membayar ganti rugi eks HGU PTPN II nomor 2.5-BS/BA/27/II/2022 sebesar Rp 3.109.260.000,- dengan luas tanah 1.888 meter persegi dan luas bangunan 84 meter persegi.
Namun, dalam pengurusan ukuran surat penguasaan fisiknya, Rakio mencaplok atau menyerobot tanah milik Merawati diperkirakan mencapai 900 meter persegi.
Surat pernyataan penguasaan fisik milik Rakio yang dikeluarkan oleh pihak Desa Helvetia ditandatangani Komarudin yang menjabat sebagai Sekretaris Desa Helvetia dan diketahui oleh Camat Labuhan Deli, tanggal 22 April 2022.
Dengan dasar surat pernyataan penguasaan fisik itu Rakio kemudian menggunakan jalur nominatif dalam pengurusan sertifikat hak milik. Anehnya, Sekretaris Desa Helvetia Komarudin menandatangani surat pernyataan penguasaan fisik milik Rakio.
Disisi lain, sebelumnya Komarudin sebagai saksi, juga menandatangani surat keterangan tanah dengan nomor 592.2/0157/II/2006 tanggal 20 Februari tahun 2006 yang dikeluarkan Kepala Desa Helvetia, yang menyatakan tanah tersebut milik Merawati.
Dalam hal ini, kembali menjadi pertanyaan publik, Ada apa dengan Komarudin yang dinilai berperan ganda turut menandatangani surat dari kedua belah pihak, yakni surat pernyataan penguasaan fisik milik Rakio dan surat keterangan tanah milik Merawati?
Selain itu, Penulis mencermati tentang pernyataan Camat Labuhan Deli Edy Saputra Siregar kepada wartawan dalam konferensi persnya.
Edy menjelaskan bahwasanya Komarudin menandatangani surat penguasaan fisik ketika itu sebagai Plt (Pelaksana tugas lanjutan) Kepala Desa Helvetia.
Tidak sependapat dengan Camat Labuhan Deli, eks Kepala Desa (Kades) Helvetia Agus Sailin mengaku heran atas keterangan Camat Labuhan Deli tersebut soal Komarudin sebagai Plt Kades Helvetia.
Padahal, ketika itu Agus Sailin masih menjabat sebagai Kepala Desa Helvetia, dan Agus Sailin kepada wartawan mengaku ketika dirinya menjabat tidak adanya Plt Kepala Desa Helvetia.
Agus Sailin juga mengaku tidak mengetahui perihal adanya surat pernyataan penguasaan fisik milik Rakio yang ditandatangani oleh Komarudin.
Namun, Agus Sailin mengaku mengetahui tanah itu milik Merawati setelah adanya konflik agraria di lahan tersebut.
Mungkin menjadi tanda tanya dalam pikiran kita, Apakah bisa seorang Sekretaris Desa menandatangani surat pernyataan penguasaan fisik tanpa sepengetahuan Kepala Desa? Kemudian, Ada apa dengan Camat Labuhan Deli yang terkesan menutupi apa yang dilakukan Sekretaris Desa Helvetia?
Kali ini, penulis mengulas kembali terkait sejumlah warga menuding bahwa pejabat Desa Helvetia dan Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang diduga terlibat mafia tanah.
Adanya tudingan pejabat Desa Helvetia dan Kecamatan Labuhan Deli terlibat mafia tanah setelah adanya dugaan penyerobotan lahan milik Merawati di Dusun II Desa Helvetia Kecamatan Labuhan Deli.
Warga menuding, pencaplokan tanah ini justru didukung oleh pihak Desa Helvetia, dengan penerbitan Surat Hak Milik (SHM) atas nama Rakio, lalu berganti menjadi atas nama Budi Kartono.
Hal itu diketahui dengan adanya aksi damai sejumlah warga dalam mendukung hak atas tanah milik Merawati.
Warga mempertanyakan alasan pemerintah setempat memberikan pengakuan soal kepemilikan lahan atas nama Rukio.
Sedangkan, Sekretaris Desa Helvetia Komarudin kepada wartawan, Dia mengaku memang di lahan yang disengketakan itu ada tanah milik Merawati. Antara lahan milik Merawati dan Rakio berdekatan.
Dia mengatakan, sertifikat tanah milik Rakio terbit berdasarkan format yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional sebagai penguasaan fisik.
Komarudin pun membenarkan bahwa setelah diteliti, sertifikat milik Rakio telah menimpa tanah milik Merawati.
Sedangkan, Merawati melalui kuasa hukumnya dari Ardianto Coorporate Law Office sudah melayangkan pengaduan masyarakat dan permohonan perlindungan hukum kepada Polda Sumatera Utara dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara.
Namun, pengaduan masyarakat (Dumas) dari Merawati tersebut hingga kini belum ada tindak lanjut dari aparat penegak hukum di Sumatera Utara.
Masyarakat menilai, penegak hukum di Sumatera Utara tidak mampu menindak tegas maupun membongkar dugaan sindikat mafia tanah di Desa Helvetia.
Masyarakat bertanya-tanya, apakah Polda Sumatera Utara dan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara di bungkam mafia tanah?
Dari sebuah penelusuran ini, penulis berharap semoga aparat penegak hukum mampu mengungkap dugaan sindikat mafia tanah di Desa Helvetia. Jelas, publik berkeinginan bahwa negara mampu memberantas mafia tanah di Tanah Air.
Reporter : Tim