Kementerian ATR/BPN Pidanakan Mafia Lahan di Batam
DikoNews7 -
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang, berhasil menyeret salah satu pengembang nakal di Batam.
Pengembang nakal itu yakni PT Megah Karya Nanjaya, yang terbukti memperjualbelikan kavling di kawasan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai.
Kini, kasusnya telah diproses ke ranah hukum pidana. Kasus ini tercatat sebagai momentum perdana bagi Kementerian ATR/BPN untuk membuat efek jera bagi mafia lahan.
Direktur Penertiban Pemanfaatan Ruang, Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Kementerian ATR/BPN Ariodillah Virgantara menjelaskan, penyidikan kasus perubahan fungsi lahan di kawasan hutan lindung yang diperjualbelikan didasarkan pada hasil audit tata ruang Kawasan Strategis Nasional Batam, Bintan, dan Karimun oleh Kementerian ATR/BPN pada 2019.
“Ditemukan ketidaksesuaian rencana tata ruang dengan implementasi di lapangan. Ternyata, hasil audit yang seharusnya hutan, sudah tidak menjadi hutan lagi. Setelah ditelusuri melalui citra satelit 2020, 2021, dan 2022 terdapat gerakan, di mana tutupan yang masih ada pada 2017, mulai dibongkar. Selanjutnya, lahan tersebut dijadikan kavling-kavling yang dijual dengan harga murah,” ungkapnya.
Diakui Arodillah, setelah proses audit, Kementerian ATR/BPN telah memasang plang peringatan di kawasan Hutan Lindung Sei Hulu Lanjai.
Hanya saja, plang peringatan tidak dihiraukan dan aktivitas pembangunan tetap berjalan dengan sejumlah rumah yang telah berdiri, maka berdasarkan bukti-bukti tersebut, Ariodillah menegaskan, Budi Sudarmawan selaku Direktur Utama PT Megah Karya Nanjaya terbukti telah melakukan tindakan ilegal dan melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Pasal 69.
Kemudian, Direktorat Penertiban Pemanfaatan Ruang, Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang menindaklanjuti ke Pemerintah Kota Batam, Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau hingga Kepolisian Daerah untuk melakukan penindakan terhadap tersangka.
“Sejak Undang-undang Penataan Ruang berlaku sejak 2007, baru pada 2023 atau selama 16 tahun terdapat pelanggar tata ruang yang merugikan negara sebesar Rp 77 miliar ini dikenai sanksi pidana. Dalam proses yang berjalan hampir satu tahun, Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang telah menemukan tersangka dan berkas perkaranya telah lengkap atau P21. Berkas telah diserahkan ke Kejaksaan Negeri Batam dan akan sidang dua minggu lagi,” jelasnya.
Ariodillah menjelaskan, kasus hutan lindung yang diperjualbelikan ini tidak hanya merugikan negara, namun juga warga. Apalagi, kasus ini telah masuk ke tahap transaksi jual beli yang dilakukan oleh tersangka secara sepihak. Bahkan, telah terdapat kurang lebih 60 konsumen yang dirugikan.
“Jadi, tersangka menjual kavling dengan sangat murah. Satu kavling itu dengan perkiraan luasan sebesar 50–60 meter persegi dengan harga antara Rp10 juta – Rp20 juta. Tersangka ini membuat masterplan palsu yang dikarang sendiri dan dibuat sendiri tanpa persetujuan Badan Pengusahaan (BP) Batam,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN tengah mencari solusi agar nasib masyarakat pembeli kaveling tersebut dapat tertangani dengan baik.
“Rencananya, Kementerian ATR/BPN akan berkoordinasi dengan pihak Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk menyediakan Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) untuk menampung pembeli kaveling yang dirugikan,” ujarnya.
Arodillah mengingatkan masyarakat yang hendak membeli perumahan agar memeriksa sertifikat.
“Di
dalam sertifikat terdapat unsur 3R (Right, Restriction,
Responsibility). Rights merupakan hak yang diberikan oleh negara dan
terdapat property right dan development right. Kemudian, restriction,
batasan yang harus diikuti, dan responsibility, tanggung jawab pemilik
tanah,” serunya dilansir dari jpnn.