Aceh Tenggara Langganan Banjir Bandang, Walhi Aceh Sebut Ada Kerusakan Ekologis
DikoNews7 -
Walhi Aceh mengatakan bahwa penyebab banjir di Aceh Tenggara yang merenggut nyawa satu orang anak usia dua tahun baru-baru ini diakibatkan hutan di kabupaten itu semakin tergerus. Kerusakan hutan di sana disebut kian parah dari hari ke hari.
Sebagaimana diketahui, kabupaten berjuluk Negeri Tanah Alas dilanda banjir dalam satu pekan ini. Data otoritas setempat menyebut air meluap di 14 kecamatan berisi 50 desa, menyebabkan kerusakan properti pribadi dan sejumlah fasilitas umum.
Satu orang bocah terseret arus bernama M Abbas, anak Mahkamah Maulid, warga Desa Pasir Puntung, Kecamatan Semadam. Dua orang yang mengalami luka-luka diinfokan juga berasal dari desa yang sama dengan korban meninggal.
Menurut Kadiv Advokasi dan Kampanye Walhi Aceh, Afifuddin Acal, bencana banjir di Aceh Tenggara menjadi masalah berulang. Ironisnya, terkesan tak ada kebijakan yang solutif oleh pemerintah setempat dalam menangani masalah ini.
”Ini banjir menjadi persoalan klasik, tetapi hanya direspons saat kejadian. Sementara mitigasi diabaikan, padahal kejadian setiap akhir tahun selalu kejadian.
Pemerintah terkesan macam tidak peduli, padahal bisa berkaca pengalaman setiap tahunnya,” tegas Afifuddin Acal, dalam rilis, Rabu (15/11/2023).
Saat ini 92 persen luas Aceh Tenggara masuk ke dalam wilayah Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), hutan dengan nilai konservasi tinggi. Luasan wilayah Aceh Tenggara ini totalnya mencapai 414.664 hektare, yang 380.457 hektare di antaranya masuk ke dalam KEL.
"Seharusnya Aceh Tenggara itu harus dilestarikan hutannya dengan baik," tegas Afifuddin.
Otoritas kebencanaan di Aceh menyebut bahwa banjir di Aceh Tenggara diakibatkan hujan turun dengan intensitas yang tinggi. Menurut Afifuddin, alasan mengapa kabupaten itu langganan banjir saat curah hujan tinggi diakibatkan daya dukung tanah yang kian menurun akibat penebangan hutan.
Afifuddin mengungkap, berdasarkan SK 580, luas KEL di Aceh Tenggara yang awalnya 380,457 hektare telah mengalami penyusutan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Pada 2022, luasan KEL menjadi 326,048 hektare—artinya terjadi penyusutan seluas 54,409 hektare.
“Artinya 14,30 persen itu hilang tutupan hutan di KEL yang ada di Aceh Tenggara. Makanya banjir terus terjadi dan kondisi ini terus terjadi berulang kali setiap akhir tahun, pemerintah macam enggak ada solusi apa pun,” jelasnya.
Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) merupakan salah satu hamparan hutan hujan tropika terkaya di Asia Tenggara. Kata Afifuddin, KEL adalah lokasi terakhir di dunia yang ditempati gajah sumatra, badak sumatra, harimau sumatra, dan orang utan sumatra.
Ironisnya, imbuh Afifuddin, kerusakan tutupan hutan di Aceh Tenggara kebanyakan terjadi di dalam Hutan Lindung (HL) dan Taman Nasional (TN) yang semestinya dijaga dan dilindungi.
Hutan Lindung di Aceh Tenggara berdasarkan SK 580 seluas 79.267 hektar, sekarang hanya tersisa 68.218 hektare. Pada 2022 hutan ini tercatat telah mengalami kehilangan tutupan seluas 11.049 hektare, atau hampir dua kali lipat luasan kota Banda Aceh.
Selain itu, Taman Nasional (TN) di Aceh Tenggara yang sebelumnya memiliki luasan 278.205 hektare, sekarang tersisa 257.610 hektare. Pada 2022 hutan ini tercatat telah mengalami kehilangan tutupan seluas 20.595 hektare, setara empat kali luasan kota Banda Aceh.
“Kondisi hutan di Aceh Tenggara terus menyusut setiap tahunnya sejak 2014 lalu. Ini yang kemudian menjadi pemicu mudah terjadi banjir bila hujan lebat melanda,” kata Afifuddin Acal.
Penebangan pohon secara masif mengakibatkan luapan air berlebih ketika hujan dengan curah tinggi terjadi. Hal ini terjadi karena fungsi menyerap air oleh pohon tidak ada lagi sebab pepohonan habis ditebang.
“Pohon itu memiliki peran penting untuk mencegah banjir, terutama banjir bandang, karena pohon sebagai penghalang air banjir, sehingga air meresap dan banjir dapat teratasi. Jadi kalau hutan sudah gundul, tidak ada lagi yang menahan air,” jelas dia.
Walhi Aceh mendesak pemerintah Aceh melakukan proteksi hutan, salah satunya dengan cara tidak membuka jalan baru. Pembangunan jalan tembus Jambur Latong-Langkat yang digagas oleh Pemerintah Aceh Tenggara dinilai akan berdampak buruk bagi ekosistem hutan di daerah itu.
Catatan Walhi Aceh menyebut bahwa pembangunan jalan tembus sepanjang 18,52 kilometer ini, selain melintasi hutan lindung sepanjang 7,75 kilometer, juga akan membuka akses masuk ke dalam kawasan hutan tersebut. Dari sinilah Kejahatan lingkungan seperti penebangan liar, perburuan satwa, serta perambahan kawasan hutan dimulai.
Berbagai praktik ilegal akan berdampak terjadinya bencana ekologis, apalagi Aceh Tenggara mempunyai riwayat langganan banjir bandang yang cukup parah. Selain itu, perambahan hutan juga akan menyebabkan habitat satwa terganggu sehingga eskalasi konflik manusia versus satwa otomatis meningkat karena banyak hewan yang terdesak.
Sebagai kawasan hutan yang masuk ke dalam KEL, hutan lindung Serbo Langit, yang akan dilintasi oleh proyek pembangunan jalan tembus, itu memiliki vegetasi yang relatif masih baik dan merupakan habitat kunci orangutan dan kambing hutan. Masyarakat dari tiga kecamatan, yakni Deleng Pokhkison, Lawe Bulan, dan Lawe Sumur, juga menggantungkan sumber air mereka dari sana.
Afifuddin menjelaskan, merujuk Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Aceh Tenggara, Nomor 1 tahun 2013 tahun 2013-2033, lima kecamatan yang sering dilanda banjir berada dalam wilayah Sungai Strategis Nasional Alas-Singkil, meliputi Daerah Aliran Sungai (DAS) Singkil yang semula luasnya 1,241,775 hektare.
Ironisnya, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, DAS Singkil mengalami kerusakan dan semakin kritis. Pada 2022, sisa tutupan hutan tersisa 421,531 hektare, yang berarti telah terjadi kehilangan seluas 820,244 hektare selama satu dekade terakhir.
Sisa area tutupan hutan DAS Singkil kini tinggal 61 persen, selebihnya sudah rusak parah. Sengkarut ini kian diperparah oleh kenyataan bahwa regulasi penataan ruang ternyata tidak memasukkan lima kecamatan langganan banjir di Aceh Tenggara ke dalam sistem pengendali banjir dan pengamanan sungai.
“Sudah saatnya Aceh Tenggara memasukkan mitigasi bencana banjir dalam merevisi qanun tata ruang kabupaten sebagai salah satu solusi untuk menanggulangi bencana banjir dalam jangka panjang,” cetus Afifuddin.
Saat ini, Qanun Aceh No. 19 Tahun 2013 tentang RTRW Aceh tahun 2013-2033 tengah dalam proses revisi. Hal ini dapat dijadikan sebagai kans oleh Pemerintah Aceh Tenggara untuk melakukan penyinkronan dengan tata ruang provinsi guna menanggulangi masalah banjir berulang di kabupaten bermotto 'Sepakat Segenep' itu.
Sumber : Liputan6